Realitas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
wilayah yang luas dan secara geografis maupun sosiokultural sangat heterogen,
pada beberapa wilayah peyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai
permasalahan, terutama pada daerah yang tergolong terdepan, terluar, dan
tertinggal (daerah 3T).
Beberapa permasalahan penyelenggaraan pendidikan,
utamanya di daerah 3T antara lain adalah permasalahan pendidik, seperti
kekurangan jumlah (Shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced
distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi
pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain
dalam penyelenggaraan pendidikan adalah angka putus sekolah juga masih relatif
tinggi, sementara angka partisipasi sekolah masih rendah dan yang paling urgen
yaitu masalah kedisiplinan Tenaga Pendidik dalam melaksanakan tugas mendidiknya
serta distorsi distribusi dan penggunaan dana pembangunan pendidikan (BOS,
dll).
Kebijakan Kementerian Pendidikan
Nasional dalam rangka percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T, adalah
Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. Program-program
tersebut merupakan jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan
pendidikan di daerah 3T.
Program SM-3T sebagai salah satu Program Maju
Bersama Mencerdaskan Indonesia ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang
belum bertugas sebagai guru, untuk ditugaskan selama satu tahun pada daerah 3T.
Program SM-3T dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus
mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap
peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa,
agar dapat maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang diamanahkan oleh para
pendiri bangsa Indonesia.
Urgensi dan Problem MBMI
Memasuki usianya yang keempat, program SM-3T yang
digagas oleh Pemerintah dengan
mengirimkan lebih kurang
tiga ribu sarjana-sarjana terpilih dari proses seleksi di
berbagai daerah mulai sabang sampai merauke telah sangat membantu beberapa
permasalahan mendasar dunia pendidikan yang ada di daerah 3T. Akan tetapi ada
beberapa hal yang masih mengganjal di benak kami.
Pertama,
diakui atau tidak, program SM-3T ini telah banyak menyemai inspirasi, motivasi
dan optimisme kepada seluruh anak bangsa yang ada di celah-celah negeri. Mata berbinar, senyum merekah, canda-tawa
kembali semerbak dari anak-anak itu dalam menuntut ilmu ditengah
keterbatasannya. Tidak ada kesia-siaan dari perjalanan jauh mereka dari rumah
menuju sekolah yang berjalan dengan sepatu robek-robek bahkan banyak juga yang
menggunakan telapak kaki tanpa sekat sebagai alas untuk melewati jalanan terjal
dan berbatu.
Perserta pun bisa melakukan simbiosis mutualisme
dengan masyarakat setempat dalam hal budaya dan keterampilan. Hal ini
dikarenakan di tempat tugas peserta juga melakukan kegiatan sosial seperti
pelatihan pengolahan sumber daya alam yang melimpah di daerah tersebut, semisal
pengolahan kolang-kaling, pengolahan bekicot, pengolahan kedelai menjadi tempe,
pengolahan singkong menjadi tape, dll.
Akan tetapi ada pertanyaan mendasar yang ada di
benak saya,“1) Seberapa efektif program ini dalam
membangun budaya positif di sekolah dan daerah-daerah yang berdampak sitemik
sehingga tidak ada lagi guru-guru yang tidak masuk sekolah, dana untuk siswa
dan perbaikan sekolah benar-benar disalurkan? 2) Seberapa
serius monev yang dilakukan sehingga ada rekomendasi yang valid, sistematis dan terukur dalam
rangka perbaikan dan percepatan kualitas pendidikan di daerah tersebut serta
mampu melakukan pemetaan sekolah sasaran sehingga sekolah yang ditempati tepat
sasaran? 3)
Seberapa serius pengelola mendidik kami jika masih ada kuitansi kosong yang disodorkan pada kami
untuk kami tandatangani dan memberikan jawaban yang normative dan apologis
ketika berdialog?
Kedua,
tentang program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut hemat saya, program tersebut memiliki dua peran vital untuk mencetak pendidik yang
berkualitas. Fungsi pertama yaitu sebagai instrumen untuk menyeleksi calon
tenaga pendidik yang saat ini jumlahnya begitu besar, kedua sebagai instrumen
untuk menggodok calon pendidik yang telah lolos seleksi tersebut agar terjamin
kualitasnya.
Menjadi rahasia umum bagaimana pendidikan di
Indonesia telah menjadi komoditi ekonomi yang sangat menggiurkan (orang tidak
kuliah bisa dapat ijazah asal bisa bayar) untuk mengumpulkan uang. Sehingga
memunculkan pertanyaan yang sangat rasional, “Mampukah kampus abal-abal
tersebut menghasilkan tenaga pendidik yang berintegritas dan memiliki
intelektualitas yang luas untuk mendidik anak bangsa ini?”.
Dampak positif dari penyelenggaraan program PPG
tersebut tetap memunculkan beberapa pertanyaan mendasar. 1) Standar seperti apa
yang ditetapkan pemerintah agar sebuah LPTK bisa menyelenggarakan PPG (status
akreditasi Jurusan, tenaga pendidik, keberadaan fasilitas gedung kuliah dan
asrama, dll? 2) Standar seperti apa yang ditetapkan oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan PPG (pengelolaan proses pembelajaran dan Pendanaan) pada setiap
LPTK? 3) Kurikulum seperti apa yang diterapkan oleh pemerintah dalam
penyelanggaraan PPG?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kami munculkan
sebagai upaya untuk menjawab kondisi riil yang terjadi di lapangan bahwa sebuah
LPTK memiliki gedung kuliah PPG sendiri tapi LPTK yang lain belum. Di sebuah
LPTK proses pembelajaran berjalan begitu manusiawi, pengelolaan anggaran begitu
terbuka sementara di LPTK lainnya berjalan sebaliknya (sampai-sampai ada
peserta yang mogok makan hingga mengalami kecelakaan). Kemudian pelaksanaan PPG
bagi PGSD yang berlangsung selama 1 semester dan Non PGSD 2 semester, proses
pembelajaran yang berupa workshop selama 1 semester dan PPL 1 semester bagi non
PGSD tapi ketika Ujian Tulis Nasional (UTN) dimana pertanyaan yang diajukan berbeda
dengan pembelajaran yang dilakukan.
Tidak Banyak Minta
Sebagai putra bangsa tentu kami sadar diri.
Problematika bangsa ini tak mungkin diselesaikan sendiri, pun tak boleh banyak
mengeluh dan pasrah diri. Kami harus tetap optimis, semangat dan terus mengupgrade diri sebagai tanggung jawab
untuk mengisi kemerdekaan bangsa.
Tapi tetap ada sebuah
harapan yang ingin kami sampaikan. Harapan agar kita semua tidak durhaka dengan
menyia-nyiakan kasih sayang Ibu Pertiwi,
harapan agar kita menjaganya dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai pada saatnya nanti kita dikutuk
atas keserakahan dan ketamakan kita padanya. Mari bersama Mencerdaskan
Indonesia dengan sungguh-sungguh dan setulus hati. Karena negeri ini tidak
kekurangan orang-orang yang cerdas dan pandai, yang kurang hanyalah orang-orang
yang sungguh-sungguh dan tulus berkarya. Kulo
Tresno Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar